Entri Populer

Total Tayangan Halaman

Kamis, 05 Februari 2009

SIKAP KEPEMIMPINAN MENGHADAPI KRISIS

Dibawah ini tulisan praktisi, saya dapat dari email yang masuk dikirim oleh :
melalui milist, semoga bermanfaat.
============ ===

Sikap Kepemimpinan HR Menghadapi Krisis (2)
Oleh: Paulus Bambang WS

During Crisis, CEO is the main target of HR to instill
what he believes during great time’

Yang paling ‘fragile’ dalam keadaan krisis sebenarnya
bukan karyawan yang paling bawah tapi CEO dan jajaran
direksi yang posisinya terbatas pada jangka waktu
tertentu. Makin di atas makin besar goncangannya.
Makin dipucuk makin berat kemampuannya bertahan baik
secara intelektual, emosional dan spiritual. Ini yang
harus disadari oleh CHR. Mereka adalah target operasi
yang harus dijadikan prioritas agar tidak kalut
sehingga mengambil keputusan yang membabi buta.

Kondisi di atas yang cepat diterpa badai dan paling
dahsyat terkena petir ini membuat banyak CEO langsung
melakukan reaksi yang sebenarnya konyol hanya untuk
menunjukkan bahwa ia memiliki ‘sense of urgency’.

Yang paling cepat dan paling mudah dilakukan adalah
pengurangan karyawan. Pemikirannya sangat sederhana,
bila karyawan dikurangi maka ongkos operasi bisa
ditekan, bila ongkosnya sudah turun maka
profitabilitas bisa dijaga. Pemikiran naif yang tak
pantas dilakukan oleh eksekutif yang menerapkan ‘built
to bless’. Karyawan bukanlah sumber daya pertama yang
harus dikorbankan, karyawan seharusnya menjadi yang
amat sangat dan paling terakhir dilakukan pengurangan
setelah semua upaya normal dijalankan.

Ingat, karyawan adalah HUMAN RESOURCES. Artinya bukan
sekedar RESOURCES tapi juga HUMAN.

Dalam keadaan krisis, tatkala penjualan perusahaan
turun, produksi turun, karyawan kecillah yang
menderita. Pendapatan mereka berkurang banyak karena
lembur tiada lagi, insentif produksi menghilang namun
pengeluaran rumah tangga mereka meningkat.

Gelombang PHK yang terjadi di belahan barat, bukanlah
contoh yang pantas untuk dijadikan ‘best practices’.
Sebuah sistim yang menganggap karyawan sebagai
resources yang tidak ‘in line’ dengan hubungan
industrial Pancasila.

Salah satu CEO yang mampu menyikapi hal ini dengan
Human Spirit yang kuat adalah Chua Sock Koong,
pimpinan Singtel. Naluri keibuannya membuat ia berani
berujar:

“The current global financial crisis is
unprecendented. A slowdown of the growth of the
group’s businesses is expected. Singtel profit falls
12 % on overseas investments. The company will look to
cut costs and has implemented a hiring freeze but
isn’t looking to reduce headcount at this time’. As a
business we continue to review operating efficiencies
.... there could be redeployment of headcount across
different businesses, staff cuts will be something we
see as a last resort’.

Sikap terhadap krisis dari CEO harus mencerminkan
sikap krisis dari CHR dalam hal mempertahankan ‘human
spirit’. Kegagalan CHR menjadi ‘crisis team’ dari CEO
adalah kegagalan fatal yang akan berakibat pada
kondisi karyawan secara keseluruhan.

CHR harus mampu memberikan solusi strategis agar
langkah praktis seperti pemotongan gaji dan
pengurangan tidak serta merta dilakukan. Frekuensi
pertemuan dengan CEO harus ditingkatkan. CHR jangan
sibuk dan menyibukkan sendiri dengan program
penghematan agar dianggap tanggap terhadap krisis.
Tapi CHR justru harus tanggap terhadap spirit seluruh
karyawan untuk bertahan dan menang dalam krisis. Dan
inilah yang sebenarnya dibutuhkan CEO, sebuah saran
yang fundamental dan tidak menimbulkan masalah
hubungan industrial.

Sepuluh langkah yang harus dilakukan CHR dalam krisis
agar bisa menjadi ‘trusted partner’ bagi CEO
dibandingkan team manajemen yang lain adalah :

Membedah akar krisis yang menghimpit perusahaan dengan
angka di atas angka finansial. Mengerti akar
permasalahan teknis dengan meminta bantuan team
operasional.
Ikut aktif dalam mengusulkan langkah penyelamatan
jangka pendek, medium dan panjang yang memperhatikan
aspek moral karyawan secara keseluruhan. Bersikap
optimis dan tidak terjerembab pada pesimisme sesaat.
Andalah yang ‘set the tone’ of the company.
Mengusulkan team penyelamatan krisis dengan alokasi
SDM yang paling baik. Justru di krisis inilah
pengembangan karyawan yang sesungguhnya bisa terjadi.
Test terhadap karyawan yang potensial bisa diamati
secara jelas. Gunakan krisis yang ada justru untuk
menemukan mutiara.
Buatlah team yang cross functional dan cross business
untuk melakuan inovasi baru agar mampu melakukan
lompatan ketika krisis sudah berlalu. Persiapan
terhadap ‘upturn’ harus dilakukan.
Komunikasi rutin dengan CEO agar mengerti kondisi hati
CEO serta mampu memberikan ‘brutal facts’ yang jujur
dan transparan.
Menjalin komunikasi yang efektif dengan serikat
pekerja agar terjadi kesamaan pandang dan menghindari
distorsi akibat rumor yang tidak bertangung jawab.
Mereka adalah mitra perusahaan yang paling handal dan
terpercaya.
Komunikasi secara terbuka dengan seluruh jajaran
pimpinan menengah dan lapangan mengenai pengaruh
krisis terhadap perusahaan. Kejujuran adalah kunci
tanpa menutupi fakta. Sebaliknya tidak memperburuk
keadaan dengan tujuan menekan karyawan
Menyarankan dan membimbing setiap pimpinan agar
semakin erat dengan karyawan dan berkomunikasi secara
heart to heart, agar semangat karyawan justru semakin
meningkat
Memberi solusi pada karyawan untuk bersikap dalam
krisis termasuk dan tak terbatas dalam hal sikap hidup
sebagai pribadi.
Aktif dalam evaluasi bulanan, mingguan dan harian
terhadap ‘crisis management’ dan ‘crisis action’ yang
sudah disepakati. Jangan hanya jadi peserta tapi jadi
aktor aktif yang menggerakkan irama efisiensi
perusahaan.
Kalau CEO berhasil Anda ‘jinakkan’ dalam krisis ini,
maka hantaman badai di perusahaan Anda tidak semakin
besar karena diperbesar oleh kekalutan CEO Anda. You
have to set the tone, taste and the tale of the
company.

Penulis adalah Author buku ‘Best Seller’: Built to
Bless. The 10 Commandments to transform your Visionary
Company – Built to last – to a Spiritual Legacy.


Tidak ada komentar: