Entri Populer

Total Tayangan Halaman

Kamis, 12 Februari 2009

JANGAN MEROKOK DI TURKI

Tulisan ini saya ambil dari postingan Sudaryatmo Mamo melalui

Sambil mendekap tas jinjing yang sudah dibawanya sejak dari Jakarta, Omposumbu melangkah agak cepat menuju executive lounge Turkiys Air, bandara Atatürk, Istanbul, Turki.

Kopi hangat menjadi sasaran utamanya pagi itu. Tapi, kehangatan kopi kental yang diraciknya sendiri itu belum mampu mengambalikan kebugaran setelah menempuh penerbangan selama belasan jam dari bandara Changi Singapura sejak malam sebelumnya.

Belum lengkap rasanya, jika secangkir kopi panas itu tak ditemani hembusan rokok. Apalagi ia sudah 'puasa' merokok sejak dari Singapura. Direktur sebuah perusahaan di Jakarta itu pun celingukan mencari smoking area, seperti yang ada di Changi. "Smoking area-nya di mana ya?" ujar dia pada beberapa teman seperjalanan.

"Kayaknya enggak ada deh. Di sini enggak ada smoking area. Tuh lihat aja pengumumannya," kata salah seorang anggota rombongan wartawan yang akan menuju ke Rusia.

Pada sejumlah sudut di lapangan udara terbesar di kota Istanbul itu telah dipasangi pengumuman sebesar poster film. Isinya, terhitung sejak 19 Mei 2009 peraturan baru tentang larangan merokok di areal publik mulai resmi diberlakukan. Peraturan tersebut berlaku untuk areal-areal publik macam areal pendidikan, kesehatan, perdagangan, sosial budaya, olahraga dan semua fasilitas hiburan. Malah hotel-hotel yang menyediakan kamar khusus untuk perokok, harus memenuhi syarat sistem vantilasi yang juga dikuatkan dengan regulasi.

Sebuah kelompok antirokok di Turki mengungkapkan, lebih dari 40 persen pria dewasa di negeri itu merokok. Dan berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan setempat setiap tahun lebih dari 150 ribu orang meninggal dunia akibat rokok. Tingginya angka kematian di Turki akibat merokok menjadi latar belakang lahirnya regulasi tersebut. Bahkan, meskipun mendapat tentangan kuat dari kelompok perokok, saat ini aturan tersebut pun sudah diperluas hingga ke bar, restoran dan klub malam.

Untuk berbagai pengelola fasilitas yang tak mengindahkan peraturan tersebut, pemerintah daerah setempat akan mengeluarkan peringatan tertulis. Jika peringatan tersebut masih dilanggar, maka mereka yang membangkang dikenai denda antara 500 sampai 5000 lira, atau kira-kira Rp 3,8 juta sampai Rp 38,5 juta.

Sementara bagi pelanggaran perorangan, dikenai denda 50 lira atau Rp 385 ribu. Juga, jika membuang puntung rokok sembarangan, ditetapkan denda 20 lira atau Rp 155 ribu. Hukuman yang sama pun akan dijatuhkan pada para produsen atau agen rokok yang memberikan rokok gratis dengan alasan promosi. Juga jika mereka menjual rokok ditempat yang tak terdaftar atau terlarang. Denda yang menanti antara 50 ribu lira, atau Rp 385 juta hingga 250 ribu lira atau Rp 2 miliar.

Saya lantas teringat dengan Jakarta. Bukankah Jakarta pun mempunyai peraturan serupa? Bahkan umurnya lebih tua dari perda di Istanbul. Pemda DKI yang dipimpin Gubernur Sutiyoso pernah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara di DKI yang efektif berlaku sejak 6 April 2006 silam. Di dalam perda itu juga mengatur masalah rokok. Tapi ke mana Perda itu?

Sayang, hingga hari in warga Jakarta masih dengan bebas mengepulkan asap rokoknya nyaris di seluruh tempat di Ibu Kota. Dan tentu saja, udara buruk di Ibu Kota Indonesia itu tak pernah membaik. Entahlah, mungkin beda dengan Istanbul, di Jakarta peraturan dibuat hanya untuk dilupakan. Pemda pun seolah tak punya taring untuk menegakkannya.

Belakangan, lembaga agama pun turun tangan. Baru-baru ini diberitakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhir tahun ini akan membahas fatwa haram soal merokok. Di Sumatera Utara para ulama setempat bahkan telah menetapkan status haram mengisap gulungan tembakau itu. Kini wacana haram tidaknya rokok menjadi menghangat.

Terlepas dari itu, mungkin benar bahwa konsistensi dan ketegasan melaksanakan UU rasanya menjadi hal yang lebih penting, ketimbang produktifitas menciptakan UU. Lihat saja Omposumbu dan beberapa teman perokok dari Indonesia yang terdampar di Istanbul ini. Betapa pun mulut mereka masam karena sudah tak merokok hampir seharian, toh mereka tak berani berbuat nekat.

"Ah, enggak jadi ah. Enggak berani aku, di plafon ada detektor asap. Nanti ditangkap, jadi panjang urusannya," kata Omposumbu sambil tertawa dan memasukkan sebatang rokok ke dalam kotaknya. Semula ia ingin mencoba merokok di kabin WC bandara yang terletak dekat pintu masuk lounge.

Niatnya bertambah pupus karena di antara ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang lalu lalang di bandara pagi itu, tak satu pun yang didapati sedang merokok. Sugesti mungkin, tapi udara di bandara pun terasa lebih segar dan yang pasti tempat-tempat sampah di sana bebas dari abu rokok. Hebatnya Turki!..



Tidak ada komentar: