Entri Populer

Total Tayangan Halaman

Jumat, 21 Agustus 2009

MENYIKAPI RAMADHAN

Menyikapi Ramadan

A Mustofa Bisri

’’Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.’’ (QS Al-Baqarah : 183)

Salah satu yang mungkin bisa dianggap sebagai tanda bahwa masyarakat kita adalah masyarakat religius ialah sikap kita menyikapi Ramadan. Kita begitu bersemangat menyambutnya saat Ramadan datang. “Marhaban Ya Ramadan!” kata spanduk-spanduk yang kita pasang di jalanan, “Selamat Datang Wahai Ramadan!”


Pesantren-pesantren, masjid-masjid, dan mushala-mushala sudah sejak dini mempersiapkan segala sesuatu bagi acara khusus Ramadan; mulai dari mempersiapkan sound system bagi syiar Islam, membuat kurikulum pengajian kilat, hingga penunjukan ustad-ustad.

Organisasi-organisasi ke-Islam-an, instansi-instansi, pers, dan lembaga-lembaga yang lain juga mulai sibuk mengatur jadwal kegiatan Ramadan. Bahkan sejumlah televisi yang biasanya hanya tertarik menayangkan persoalan-persoalan duniawi, menjelang Ramadan berlomba-lomba mengatur siasat bagaimana menayangkan program-program yang berbau akhirat.

Anak-anak muda kampung juga sudah membentuk grup musik dadakan untuk keperluan membangunkan sahur. Tidak itu saja; pesan-pesan SMS berisi tahniah Ramadan melalui telepon-telepon genggam pun bersliweran mirip zaman pemilihan umum kemarin.

Sebentar lagi langit Indonesia akan menyaksikan gemuruh dan gegap-gempitanya syiar Ramadan terpancar dari pengeras-pengeras suara surau dan masjid serta layar-layar kaca rumah-rumah. Bersaing dengan ramainya pengajian-pengajian bergilir yang diselenggarakan instansi-instansi pemerintah maupun swasta.
Kekuatan Mental

Semua itu kasat mata dan bisa dirasakan oleh indra kita. Pertanyaannya justru: bagaimana dengan yang tidak kasat mata? Apakah qalbu dan jiwa kita juga juga sesemangat itu menyambut datangnya bulan suci ini; sehingga siap untuk dididik dan dilatih oleh Ramadan untuk menjadi muslim dan mukmin yang lebih kuat?

Menurut Rasulullah SAW, orang mukmin yang kuat ”khairun wa ahabbu ilaa ’Llaahi min al-mu’mini ’dh-dha’iif...” (H.R. Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah r.a). “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.”

Tentu saja kuat di sini bukan dari segi fisik saja, namun terutama dari segi mental. Bukankah banyak sekali orang yang secara fisik kuat, namun secara mental sangat lemah? Bahkan ada orang yang menyembunyikan kelemahan mentalnya dengan menunjukkan kekuatan fisik.

“Laisa’sy-syadiidu bishora’ati.” (H.R. imam AL-Bukhari dan imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah r.a). Orang kuat tidak dilihat dari kemampuannya membanting orang. Orang yang benar-benar kuat ialah orang yang mampu menguasai diri saat marah.

Di bulan suci Ramadan inilah, kita secara intens dididik dan dilatih mengendalikan, mengekang, dan menguasai diri. Dimulai dari ’pelajaran’ paling awal: mengekang nafsu makan-minum dan kelamin, lalu ’naik klas’: mengekang nafsu-nafsu yang lain yang lebih sulit; seperti marah, benci, hasut, dsb. dst. . Kemudian pada akhirnya diharapkan ’lulus’: menjadi mukmin yang benar-benar kuat yang dicintai Tuhan. Menjadi raja di kerajaan diri.
Orang yang lemah tidak akan mampu menjadi raja di kerajaan dirinya sendiri; apalagi menjadi khalifah di muka bumi. Allah menghendaki kita menjadi khalifahNya di muka bumi ini, karena itu “wallahu a’lam. Ia memberikan kepada kita berbagai fasilitas dan kemudahan untuk dapat mengemban amanat itu. Satu di antaranya ialah kesempatan berlatih dan menggembleng diri sebulan suntuk di bulan suci ini.

Apabila kita tidak menggunakan kesempatan ini untuk meningkatkan kualitas dan kekuatan diri kita, maka Ramadan akan berlalu seperti bulan-bulan yang lain. Perikehidupan dan pergaulan kita akan tetap seperti yang sudah-sudah. Perikehidupan dan pergaulan yang lemah yang dipenuhi oleh sikap dan perilaku khas manusia-manusia lemah yang tidak pantas disebut khalifah Allah. Manusia-manusia yang dengan mudah ditaklukkan dan diperbudak oleh apa saja yang seharusnya dikuasainya; seperti harta, kedudukan, dan kepentingan-kepentingan lainnya. Manusia yang tidak menghargai dirinya sendiri. Semoga Allah mengampuni kita, merahmati kita, dan menolong kita untuk dapat menyikapi dengan benar RamadanNya ini. Amin. (76)

— Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang


Tidak ada komentar: